15 Mei 2012

Demo AMK Menuai Protes Masyarakat Karo

KEBERATAN - Sejumlah warga desa Guru Singa, Berastagi mengaku merasa keberatan dengan aksi demo AMK dan PPM.
KEBERATAN - Sejumlah warga desa Guru Singa,
Berastagi mengaku merasa keberatan
dengan aksi demo AMK dan PPM.
Berastagi - andalas Buntut aksi demo soal ijazah Bupati Karo, seribuan masyarakat desa Guru Singa Kecamatan Berastagi gerah dan mengecam ulah oknum segelintir masyarakat yang ditenggarai hanya untuk kepentingan pribadi. Mereka menuding aksi demo AMK teori pembusukan.

Aksi seperti itu (Aliansi Masyarakat Karo) hanya menghadang pembangunan. Kami seluruh masyarakat merasa keberatan, pembangunan terhambat. Hargailah hasil pilihan rakyat Tanah Karo.

Beri mereka waktu bekerja. "Masyarakat Tanah Karo rindu pembangunan nyata yang langsung menyentuh kepentingan rakyat, "ujar Selesai Gurusinga (52) didampingi Bp Meriahta Gurusinga (75) dan tokoh pemuda Asin Karo-karo (58), Musim Karo-karo, kepada wartawan, Rabu  (9/5) di desa Guru Singa, Berastagi.

Mari kita buka-bukaan, siapa yang menggelar demo soal ijazah bupati Karo, IS, CA, PT. Apa yang sudah diperbuat mereka terhadap Tanah Karo. Bahkan diantara mereka, adalah ikut sebagai saksi di Mahkamah Konstitusi sewaktu hasil Pemilu Kada Karo digugat calon Bupati Karo Siti Aminah cs ke MK, ujar Gurusinga lantang sembari mengaku 1100 KK penduduk desa Gurusinga siap menghadang aksi demo AMK.

Ketiganya siapapun sudah tahu, apa dan bagaimana latar belakang mereka. Selaku putra asli daerah ini kami sangat keberatan dengan aksi mereka. Sepuluh pun ijazah, buat apa kalau tidak berkemampuan, dan tidak memiliki talenta jadi pemimpin. Artinya, sambung Selesai Gurusinga, kepemimpinan itu bukan menyangkut ijazah, tapi kemampuan dan tanggung jawab.

Walau demikian, prosesnya kemarin mulai dari KPU sampai di MK hingga keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) soal dugaan ijazah “palsu” Bupati Karo, diterbitkan Kapoldasu tanggal 19 Januari 2011 sudah melalui sejumlah tahapan dan proses yang ketat,  ketusnya.

Penyelidikan dihentikan lantaran tidak cukup bukti dan hal itu sesuai Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor : K/33/I/2011/Ditrekrimum tertanggal 19 Januari 2011 yang ditanda tangani Wakil Direktur Ditreskrimum Poldasu, AKBP Mashudi, tuturnya.

“Sienggo enggo me, lanai bo kari nambahi cihona (yang sudah, sudahlah, tidak lagi nanti menambahi terang), ujarnya dengan dialek Karo. Kalau ada kelemahan atau kekurangan, itu yang perlu dikritisi secara konstruktif.

Pemerintah Kabupaten dan DPRD Tanah Karo diminta bersinergi melaksanakan pembangunan daerah dan melakukan terobosan-terobosan dalam rangka mewujudkan janji-janji Pilkada sebelum menjabat.

‘’Apa yang diprogramkan semasa berkampanye dulu harus bisa direalisasikan dengan konsep nyata. Bupati, wakil bupati beserta para anggota dewan di Tanah Karo harus berkolaborasi dalam visi/misi pembangunan daerahnya, termasuk juga menetapkan APBD yang pro rakyat,” tegas mereka.

Tidak hanya soal demo AMK yang dikecam warga desa Guru Singa, Berastagi, demo PPM membuang sampah ke kantor dan rumah dinas Bupati Karo tidak luput disesalkan warga. “Mungkin apa yang kami sampaikan ini, sama dengan warga pedesaan lainnya di seluruh desa Tanah Karo. Kami keberatan Tanah Karo diobok-obok segelintir oknum masyarakat yang terkesan menghambat pembangunan,” ujarnya.

Tanggapan lebih ekstrim dikatakan rekannya, Asin Karo-karo. Kalau mau jadi oposisi ya jadilah “oposisi” tetapi oposisi tidak hanya sekedar tukang kritik, tukang protes, lebih dari itu. Kalau hanya sekedar tukang kritik, cari-cari kesalahan orang dan doyan protes, semua orang bisa dan akhirnya hanya punya nickname "asal tidak". Apapun keberhasilan orang lain, pasti tidak puas, ya karena hanya tukang kritik dan tukang protes. Janganlah timbulkan bara api di Tanah Karo Simalem ini, mari kita menciptakan demokrasi yang sehat.

“Tanah Karo membutuhkan kepemimpinan transformatif dan inovatif yang benar-benar sanggup memahami dan memecahkan aneka masalah rakyat. Mulai dari pendidikan, pertanian, kesehatan, infrastruktur berbasis pertanian maupun masalah-masalah lainnya membutuhkan kerja keras seluruh SKPD Pemkab Karo.

Berikanlah waktu bekerja bagi Bupati/Wakil Bupati DR (HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti dan Terkelin Berahmana yang merupakan hasil pilihan mayoritas rakyat Tanah Karo” lontarnya.

“Jadi saya mengharapkan bupati dan jajarannya melakukan verifikasi terkait hal-hal apa yang harus dilakukan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Dan kepada SKPD karo juga harus bisa memberikan masukan kepada bupati secara akurat,” harap Musim Karo-Karo diamini rekannya.

30 April 2012

Jalan Medan-Berastagi Kembali Lancar


KARO- Sempat lumpuh sekitar enam jam akibat longsor di kawasan  Desa Doulu, Kecamatan  Berastagi, Rabu (25/4) lalu, kini Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Medan-Berastagi, kembali normal.

Curah hujan yang beberapa pekan belakangan cukup tinggi, diprediksi merupakan faktor utama penyebab bencana alam, khususnya longsoran kecil di sejumlah tempat di  Kabupaten Karo.

“Namun demikian, kita menghimbau  turis agar tidak ragu untuk melakukan kunjungan wisata.  Karena di Daerah Tujuan Wisata (DTW), tidak ada yang terkena bencana,” ujar Kadis Parsenbud Karo Dinasti Sitepu, SSos, Jumat (27/4) di ruang kerjanya kepada Sumut Pos.

Longsoran kecil di sejumlah titik di jalan lintas Medan-Berastagi, diakui Dinasti memang kerap terjadi jika curah hujan tinggi. Hal itu terjadi sehubungan kondisi alam  di arael perbukitan. Dan lokasi itu bukan hanya di Karo, melainkan juga di perbatasan Deliserdang, Dairi, Langkat dan Aceh (NAD).
“Dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan, longsoran dari bukit ke bagian Jalinsum, di Desa Doulu kemarinlah, yang terparah di wilayah Karo. Kedepannya, kami telah melakukan koordinasi dengan pihak PU, Kesbang dan berbagai pihak terkait,  untuk  antisipasi, serta penanggulangan” ungkap Dinasti.

Sementara itu, sejumlah pelaku wisata jasa penginapan dan  pedagang, mengaku mengalami   sedikit penurunan omset.  Tetapi jika jalan telah normal kembali, mereka yakin, tingkat kunjungan akan  segera pulih. (wan) sumber disini

Desa Doulu


TEPAT empat hari lalu bumi merayakan ‘’Hari Bumi’’. Aktivis lingkungan di belahan manapun merayakan perayaaan ini dengan penuh tema. Dua hari lalu saya merekam ucapan budayawan Sudjiwo Tedjo di talkshow stasiun televisi. ‘’Jangan sesekali katakan bencana, itu gejala alam mencari keseimbangan.” Di Jakarta muncul tema ‘’Bersihkan Sampah, Tegakkan Kedaulatan Pangan, Air dan Energi’, lain di Yogyakarta yang memahami keseimbangan bumi lewat tema ‘’Ekspresikan Kreasimu untuk Bumi’’ Longsor yang terjadi di Desa Doulu yang terjadi kemarin menyentak kesadaran siapapun: tema lingkungan yang kita usung sudah terlampau progresif.

Banjir bandang yang menghancurkan sejumlah desa di Tanah Karo mengingatkan masalah lingkungan di negeri ini belum menyentuh substansinya. Jika kerusakan ini bagian dari alam mencari keseimbangan, ingatlah longsor di Desa Doulu ini bukan yang pertama. Ini kedua kali alam mencari keseimbangannya setelah kejadian serupa pada tahun 2008 silam.

Walhi Sumut pernah mengingatkannya! Apa sebetulnya yang terjadi di tanah subur penghasil sayur-mayur dan buah-buahan ini? Setelah para petani tak berdaya dihantam kejamnya liberalisasi pertanian, alam juga semakin menjauh dari mereka. Alih-alih melimpah kekayaan dari hasil tanahnya, mencari keseimbangan ekonomi pun semakin sulit rasanya.

Lihatlah bagaimana petani ramai-ramai melemparkan jagung ke kantor Gubsu. Belum lagi kentang dan jeruk yang diserakkan karena tak ada harganya. Pemerintah tak punya konsep yang jelas melindungi petani. Belum pula bicara infrastruktur yang melemahkan posisi tawar dalam kompetisi pasar yang serba-cepat. Harga merosot dan alam terus mencari keseimbangannya. Dalam ketidakseimbangan ini muncullah kantong kemiskinan.

Kendati banyak pihak mengatakan kawasan perkotaan sebagai kantong kemiskinan, data BPS mempertegas pedesaan tetap kawasan terbanyak penduduk miskinnya. Saat banyak orang miskin hidup di pinggir hutan justru inilah yang mengkhawatirkan.

Tekanan terhadap kawasan hutan dan lingkungan hidup makin tinggi. Hal ini senada dengan kekhawatiran Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan PBB (1988). Mereka yang miskin dan kelaparan acapkali menghancurkan lingkungan sekitarnya demi kelangsungan hidup. Mereka akan menebang hutan, ternaknya akan menggunduli padang-padang rumput, mereka akan menggunakan lahan marginal secara berlebihan.

Mereka terpaksa memanfaatkan secara berlebihan basis sumber daya yang ada demi kelangsungan hidup mereka. Sasaran paling dekat adalah hutan. Mereka belum sempat berpikir tentang lingkungan, tentang pelestarian, tentang konservasi atau tentang rehabilitasi lahan. Paling parah manakala pemerintah justru terlibat di dalamnya.

Atas nama investasi Pemkab Karo menyumbang besar atas kerusakan di hutan lindung Simpang Doulu. Ada enam hektar hutan yang dirambah. Data menyebutkan perambahan ini atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 tanggal 28 Februari 2002. Ini pasti bukan soal bertahan hidup. Dan, saat ini juga alam mencari keseimbangan kembali. Entah sampai kapan berhenti. (*)

Bupati Karo Bisa Dipenjara

MEDAN- Kasus dugaan ijazah palsu Bupati Karo Kena Ukur Surbakti sepertinya akan menyeret-nyeret pihak lain.

Satu di antaranya adalah pihak Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Karo. Selain itu, jika memang terbukti palsu, Bupati Karo pun bisa dihukum dua tahun.

Itu dikemukakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Nuriyono saat dimintai tanggapannya terkait kasus tersebut oleh Sumut Pos, Kamis (26/4). “Jika ijazah palsu itu digunakan maka akan semakin kuat tindak pidananya. Nah harus dipertanyakan juga kepada pihak KPUD Karo, yang berwenang dalam proses verifikasi, kenapa ini bisa terjadi. Ini akan menyeret-nyeret pihak KPUD Karo. Karena ijazah itu menjadi salah satu syarat untuk maju menjadi kepala daerah,” tegas Nuriyono.

Dalam kasus dugaan ijazah palsu tersebut, sambungnya, yang diutamakan adalah harus ada laporan kasus tersebut kepada penegak hukum. Selain itu pula, yang harus digarisbawahi adalah kinerja dari penegak hukum itu sendiri yang menerima laporan kasus dugaan ijazah palsu tersebut. “Tapi tidak seketika menurunkan bupati, karena prosesnya panjang. Kalau ada laporan, kemudian diproses di kepolisian dan kemudian diselidiki baru bisa diberhentikan. Kalau tidak ada laporan, tidak bisa diproses,” katanya.

Setelah ada laporan, kasus juga kadang belum tentu langsung tuntas. “Kalau polisi tidak bergerak, 10 tahun pun tidak turun-turun. Peran serta kepolisian harus benar-benar. Karena persoalan ini akan menyeret-nyeret pihak lain, termasuk unsur KPUD setempatnya. Dan bisa dipertanyakan, kenapa ijazah palsu itu bisa lulus atau dibiarkan begitu saja,” terangnya lagi.

Menurutnya, jika benar ada laporan dan kepolisian memprosesnya secara tegas hingga ke meja kejaksaan, hanya dibutuhkan waktu selama lebih kurang enam bulan saja, untuk mengetahui kepastian benar atau tidaknya kasus tersebut.

Ketika di persidangan nantinya, terbukti benar kasus dugaan ijazah palsu tersebut, secara hukum pidana maka sanksi penjara yang dijatuhkan sekurang-kurangnya dua tahun lebih.

“Jika proses pemeriksaan berjalan lancar, enam bulan sudah bisa selesai. Enam bulan bulan bisa jadi tersangka. Kemudian ada pemberhentian sementara. Itu dikenakan pasal pemalsuan dengan sanksi di atas dua tahun penjara,” urainya.

Sementara itu, Mantan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Medan Hasan Basri yang dikonfirmasi mengenai kebenaran kasus tersebut, hanya menjawab sepenggal atau seadanya. “Coba cek di kantor,” jawabnya.

Sementara itu, seorang komisioner KPUD Sumut, Turunan B Gulo menegaskan ijazah minimal SMA dan sederajat adalah mutalk untuk menjadi bupati. Diketahuinya, Kena Ukur Surbakti tidak memiliki ijazah tapi hanya menggunakan surat keterangan dari Kepala Sekolah STM Negeri 1 Medan sebagai persyaratan menjadi bupati. Dari data-data tersebut hanya menjelaskan, Kena Ukur Surbakti angkatan 1968 dan tidak dijelaskan tamat yang dilampiri nilai-nilai ijazah sebagaimana lazimnya.
Dinas Pendidikan Medan maupun Sumut tidak berani membuat ketegasan apakah Kena Ukur Surbakti benar-benar tamat sekolah. Justru Kena Ukur Surbakti membuat justifikasi (pembelaan/pembenaran) dengan mengumpulkan tandatangan teman-temannya semasa sekolah dulu, yang menyatakan Kena Ukur pernah sekolah di STM Negeri 1 Medan tetapi tidak disebut apakah tamat.

Selain itu Kadisdik Medan semasa Drs Hasan Basri MM dalam suratnya tertanggal 12 Januari 2011 tegas menyatakan sesuai data di Disdik Medan Kena Ukur Surbakti tidak tercantum pada akhir tahun 1968 dari STM Negeri 1 Medan. Karena tahun 1968 Kanwil Depdikbud Sumut yang meregister dan mengeluarkan Surat Tanda Tamat Belajar atau ijazah STM Negeri 1 Medan.

Di sisi lain, Aliansi Masyarakat Karo mendatangi Polres Karo. Kedatangan sejumlah perwakilan AMK yang terdiri dari unsur pimpinan gabungan sejumlah LSM, Selasa (24/4) lalu ke Mapolres Karo tidak lain untuk memberikan berkas permohonan pemberitahuan izin aksi unjuk rasa, tertanggal 1 Mei mendatang. “Jika tidak ada penekanan disertai gerakan massa, dikhawatirkan kasus ini akan terbenam,” ujar  Direktur LSM KPKP, Ikuten Sitepu didampingi Ketua LSM Panji Demokrasi Chici Ardy kepada sejumlah wartawan.

Menurut Ikuten,  rencananya pihak AMK akan mengerahkan 300 massa untuk mendesak percepatan pengungkapan dugaan ijazah palsu yang digunakan Kena Ukur Surbakti pada pencalonan diri sebagai peserta Pemilu Kada  Karo tahun 2010 lalu.

Namun, sambung Chici, sebelum terbitnya izin dari pihak kepolisian tentang rencana demo awal bulan depan, pihaknya telah dikabari akan ada pendemo tandingan. “Kita nantikan apakah benar adanya. Jika memang ada pendemo tandingan saat ketika unjuk rasa AMK tanggal 1 Mei mendatang, maka kita persilahkan secara hormat. Ini era kebebasan berdemokrasi, pihak mana saja boleh menyuarakan aspirasinya,” kata Chici. (ari/wan) (http://www.hariansumutpos.com)

21 April 2012

Sejarah Marga - Marga karo (Bag 2)


3. Merga Sembiring

Youtube: https://youtube.com/@Lagu_Karo_366


Merga Sembiring secara umum membagi diri menjadi dua kelompok yaitu Sembiring yang memakan anjing dan Sembiring yang berpantang memakan anjing. Sembiring Siman Biang (Sembiring yang memakan biang (anjing)

Sembiring Kembaren
Menurut Pustaka Kembaren, asal-usul merga ini terdiri dari Kuala Ayer Batu, kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala, berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan membawa pisau kerajaan bernama Pisau Bala Bari. Keturunannya kemudian mendirikan kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan. Dari sana kemudian menyebar ke Liang Melas, saperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negerijahe, Gunong Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah dan lain-lain. Merga ini juga tersebar luas di Kab. Langkat saperti Lau Damak, Batu Erjong-Jong, Sapo Padang, Sijagat, dll.

Sembiring Keloko
Menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu keturunan dengan Sembiring Kembaren. Merga Sembiring Keloko tinggal di Rumah Tualang, sebuah desa yang sudah ditinggalkan antar Pola Tebu dengan Sampe Raya. Merga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen, beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang.

Sembiring Sinulaki
Sejarah merga Sembiring Sinulaki dikatakan juga sama dengan sejarah Sembiring Kembaren, karena mereka masih dalam satu rumpun. Merga Sinulaki berasal dari Silalahi.

Sembiring Sinupayung
Merga ini menurut cerita bersaudara dengan Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma Raja dan Negeri.
Keempat merga ini boleh memakan anjing sehingga disebut Sembiring Siman Biang.

Sembiring Singombak
Adalah kelompok merga Sembiring yang menghanyutkan abu-abu jenasah keluarganya yang telah meninggal dunia dalam perahu kecil melalui Lau Biang (Sungai Wampu). Adapun kelompok merga Sembiring Singombak tersebut adalah sebagai berikut :

Sembiring Brahmana
Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.

Sembiring Guru Kinayan
Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.

Sembiring Colia
Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni kerajaan Cola di India. Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.

Sembiring Muham
Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).

Sembiring Pandia
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.

Sembiring Keling
Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar.

Sembiring Depari
Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.

Sembiring Bunuaji
Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.

Sembiring Milala
Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain. Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.

Sembiring Pelawi
Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.

Sembiring Sinukapor
Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.

Sembiring Tekang
Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalahKaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.

4. Merga Perangin-angin 

Peranginangin Sukatendel 
Menurut cerita lisan, merga ini tadinya telah menguasai daerah Binje dan Pematang Siantar. Kemudian bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel. Di daerah Kuta Buloh, merga ini terbagi menjadi :
Peranginangin Kuta Buluh
Mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.
Peranginangin Jombor Beringen
Merga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, Belingking,. Sebagian menyebar ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.
Peranginangin Jenabun
Merga ini juga mendirikan kampong Jenabun,. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa Karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat pertama nahkoda tersebut tinggal.
Peranginangin Kacinambun
Menurut cerita, Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.
Peranginangin Bangun
Alkisah Peranginangin Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang.

Merga ini juga pecah menjadi :

Keliat Menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.
Beliter Di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan diri Peranginangin Beliter.
Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin Beliter.
Peranginangin Mano
Peranginangin Mano tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.
Peranginangin Pinem 
Nenek moyang Peranginangin Pinem bernama Enggang yang bersaudara denganLambing, nenek moyang merga Sebayang danUtihnenek moyang merga Selian di Pakpak.
Sebayang
Nenek Moyang merga ini bernama Lambing, yang datang dari Tuha di Pak-pak, ke Perbesi dan kemudian mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan lain-lain. Merga Sembayang (Sebayang) juga terdapat di Gayo/Alas.
Peranginangin Laksa 
Menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar.
Peranginangin Penggarun 
Penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional suku Karo.
Peranginangin Uwir
Peranginangin Sinurat
Menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.
Peranginangin Pincawan
Nama Pincawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.
Peranginangin Singarimbun
Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.
Peranginangin Limbeng
Peranginangin Limbeng ditemukan di sekitar Pancur Batu. Merga ini pertama kali masuk literatur dalam buku Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH berjudul Sejarah dan Kebudayaan Karo.
Peranginangin Prasi 
Merga ini ditemukan oleh Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH di desa Selawang-Sibolangit. Menurut budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru.

5. Merga Tarigan

  Ada cerita lisan (Darwin Prinst, SH. Legenda Merga Tarigan dalam bulletin KAMKA No. 010/Maret 1978 ) yang menyebutkan merga Tarigan ini tadinya berdiam di sebuah Gunung, yang berubah mejadi Danau Toba sekarang. Mereka disebut sebagai bangsa Umang. Pada suatu hari, isteri manusia umang Tarigan ini melahirkan sangat banyak mengeluarkan darah. Darah ini, tiba-tiba menjadi kabut dan kemudian jadilah sebuah danau. Cerita ini menggambarkan terjadinya Danau Toba dan migrasi orang Tarigan dari daerah tersebut ke Purba Tua, Cingkes, dan Tongtong Batu. Tiga orang keturunan merga Tarigan kemudian sampai ke Tongging yang waktu itu diserang oleh burung Sigurda-Gurda berkepala tujuh. Untuk itu Tarigan memasang seorang anak gadis menjadi umpan guna membunuh manok Sigurda-gurda tersebut.

Sementara di bawah gadis itu digali lobang tempat sebagai benteng merga Tarigan. Ketika burung Sigurda-gurda datang dan hendak menerkam anak gadis itu, maka Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menyumpit (eltep) kepala burung garuda itu. Enam kepala kena sumpit, akan tetapi satu kepala tesembunyi di balik dahan kayu. Salah seorang merga Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menusuk kepala itu dengan pisau. Maksud cerita ini mungkin sekali, bahwa pada waktu itu sedang terjadi peperangan, atau penculikan anak-anak gadis di Tongging. Pengulu Tongging merga Ginting Manik lalu minta bantuan kepada merga Tarigan untuk mengalahkan musuhnya tersebut.

Beberapa generasi setelah kejadian ini, tiga orang keturunan merga Tarigan ini diberi nama menurut keahliannya masing-masing, yakni ; Tarigan Pertendong (ahli telepati), Pengeltep (ahli menyumpit) dan Pernangkih-nangkih (ahli panjat). Tarigan pengeltep kawin dengan beru Ginting Manik. Diadakanlah pembagian wilayah antara penghulu Tongging dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke Tongtong Batu. Tarigan lalu pergi kesana, dan itulah sebabnya pendiri kampung (Simantek Kuta) di Sidikalang dan sekitarnya adalah Tarigan (Gersang). Tarigan Pertendong dan Tarigan Pernangkih-nangkih tinggal di Tongging dan keturunannya kemudian mejadi Tarigan Purba, Sibero, dan Cingkes, baik yang di Toba maupun yang di Simalungun. Beberapa generasi kemudian berangkatlah dua orang Merga Tarigan dari Tongtong Batu ke Juhar, yang kemudian di Juhar dikenal sebagai Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas (laki-laki) dan Dombat (wanita).
Adapun cabang-cabang dari merga Tarigan ini adalah sebagai berikut :

Tarigan Tua
kampong asalnya di Purba Tua dekat Cingkes dan Pergendangen

Tarigan Bondong di Lingga
Tarigan Jampang di Pergendangen
Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Beras Tepu
Tarigan Cingkes di Cingkes
Tarigan Gana-gana di Batu Karang 
Tarigan Peken di Sukanalu dan Namo Enggang
Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu
Tarigan Purba di Purba
Tarigan Sibero di Juhar, Kuta Raja, Keriahen Munte, Tanjong Beringen, Selakar, dan Lingga
Tarigan Silangit di Gunung Meriah (Deli Serdang)
Tarigan Kerendam di Kuala, Pulo Berayan dan sebagian pindah ke Siak dan menjadi Sultan disana
Tarign Tegur di Suka
Tarigan Tambun di Rakut Besi dan Binangara
Tarigan Sahing di Sinaman

Disadur dari Keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995 Dan Buku buku Budaya Karo.(sumber : blog.petrabarus.net)
Youtube: https://youtube.com/@Lagu_Karo_366


Sejarah Marga - Marga karo (Bag 1)

Merga silima

Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo. 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga didasarkan pada Merga Silima, yaitu ;
1. Karo-Karo
2. Ginting 
3. Sembiring
4. Peranginangin
5.Tarigan

Youtube: https://youtube.com/@Lagu_Karo_366


Sementara Sub Merga, dipakai di belakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub Merga tersebut.
Adapun Merga dan Sub Merga serta sejarah, legenda, dan ceritanya adalah sebagai berikut :


1. Merga Karo-Karo 


Karo-Karo Purba 
Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun. Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan seorang ular.


Dari isteri umang lahirlah merga-merga :
Purba Merga ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata. Ketaren Dahulu merga Karo-Karo Purba memakai nama merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Menurut budayawan Karo, M.Purba, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya danBatu Maler (referensi K.E. Ketaren).
Sinukaban Merga Sinukaban ini sekarang mendiami kampung Kaban.


Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga :


Karo-Karo Sekali Karo-Karo sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa. Sinuraya/Sinuhaji Merga ini mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat, yakni Aji Jahe, Aji Mbelang dan Ujung Aji. Jong/Kemit Merga ini mendirikan kampung Mulawari, Samura.


Karo-Karo Bukit
Kelima Sub Merga ini menurut cerita tidak boleh membunuh ular. Ular dimaksud dalam legenda Karo tersebut, mungkin sekali menggambarkan keadaan lumpuh dari seseorang sehingga tidak bisa berdiri normal. Karo-Karo Sinulingga Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak, disana mereka telah menemui Merga Ginting Munthe. Sebagian dari Merga Karo-Karo Lingga telah berpindah ke Kabupaten Karo sekarang dan mendirikan kampung Lingga.


Merga ini kemudian pecah menjadi sub-sub merga, seperti :
Kaban Merga ini mendirikan kampung Pernantin dan Bintang Meriah, Kacaribu Merga ini medirikan kampung Kacaribu. 


Surbakti Merga Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian menjadi Merga Torong. Menilik asal katanya kemungkinan Merga Karo-karo Sinulingga berasal dari kerajaan Kalingga di India. Di Kuta Buloh, sebagian dari merga Sinulingga ini disebut sebagai Karo-Karo Ulun Jandi. Merga Lingga juga terdapat di Gayo/Alas dan Pak Pak.


Karo-Karo Kaban Merga ini menurut cerita, bersaudara dengan merga Sinulingga, berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak dan menetap di Bintang Meriah dan Pernantin. Karo-Karo Sitepu Merga ini menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian berpindah ke si Ogung-Ogung, terus ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken. Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.
Karo-Karo Barus Merga Karo-Karo barus menurut cerita berasal dari Baros (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Sibelang Pinggel (atau Simbelang Cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen Kalak Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.
Karo-Karo Manik Di Buluh Duri Dairi (Karo Baluren), terdapat Karo Manik.


2. Merga Ginting 


Ginting Pase Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe. Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita Lisan Karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah cerita tentang Beru .


Ginting Pase. Ginting Munthe Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.


Ginting Manik Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.
Ginting Sinusinga Ginting Seragih Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972), Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.
Ginting Sini Suka Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Petra : bacanya Sembilan Satu Ginting), yakni :


Ginting Babo
Ginting Sugihen
Ginting Guru Patih
Ginting Suka (ini juga ada di Gayo/Alas)
Ginting Beras
Ginting Bukit (juga ada di Gayo/Alas)
Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)
Ginting Ajar Tambun
Ginting Jadi Bata


Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama Bembem br Ginting, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau sekarang Tiga Sukarame, kecamatan Munte.
Youtube: https://youtube.com/@Lagu_Karo_366

Ginting Jawak Menurut cerita Ginting Jawak berasal dari Simalungun. Merga ini hanya sedikit saja di daerah Karo.
Ginting Tumangger Marga ini juga ada di Pak Pak, yakni Tumanggor.
Ginting Capah Capah berarti tempat makan besar terbuat dari kayu, atau piring tradisional Karo. 

Kota Berastagi

Kota Berastagi terletak di dataran tinggi Karo, Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Karena terletak pada dataran tinggi maka suhu udara didaerah ini terkenal sejuk dan cenderung dingin.

Youtube: https://youtube.com/@Lagu_Karo_366


kota berastagi









Kota Berastagi merupakan tempat peristirahatan yang ramai dikunjungi pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur lainnya. Pengunjung umumnya datang dari luar Negeri dan Indonesia sendiri terutama dari kota Medan sekitarnya.

Seperti kota Jakarta yang memiliki tempat peristirahatan di daerah Puncak – Bogor, Bali memiliki Kintamani dan Bedugul, Jawa Timur memiliki Batu dan Malang, dan Sumatera Barat memiliki Bukit Tinggi, maka Sumatera Utara pun memiliki daerah kota Berastagi sebagai tempat rileks dan bersantai.

Gunung sibyak
Bila berkunjung ke kota Berastagi, jangan khawatir tentang akomodasi di daerah ini. Banyak penginapan kelas melati atau wisma dan bahkan hotel berbintang terdapat di kota ini. Hotel – hotel berbintang seperti Hotel International Sibayak, Hotel Sinabung, Hotel Mikie Holiday, Hotel Bukit Kubu, Hotel Mutiara Berastagi, dan lain-lain.

Sutra
Bila anda seorang backpacker yang memiliki budget terbatas maka dapat mencari wisma-wisma sebagai tempat menginap. Wisma yang terkenal bagi kalangan backpacker orang asing adalah wisma Sibayak.
Bila berkunjung ke kota Berastagi, tempat-tempat wisata menarik yang dapat dikunjungi diantaranya; Pajak (Pasar) buah Berastagi ( orang Karo menamai "Pasar" dengan “Pajak”), Bukit Gundaling, Taman hutan raya Bukit Barisan, Pemandian air panas lau sidebuk-debuk, desa budaya Lingga, desa budaya Dokan, Penatapan Tongging dan air terjun sipiso-piso, mendaki gunung Sibayak, mengunjungi danau Lau Kawar dan mendaki gunung Sinabung, dan tempat wisata lainnya.

Tempat – tempat wisata tersebut terdapat di kota Berastagi dan sekitarnya, dan kota Berastagi merupakan tempat yang ideal dijadikan sebagai base (pangkalan) untuk menjangkau daerah-daerah wisata tersebut.

Bagaimana caranya mengunjungi kota Berastagi ? dari bandara kota anda dan mendarat di bandara Polonia Medan. Dari bandara Polonia Medan anda dapat menggunakan taksi bandara menuju ke daerah Padang Bulan, tempat bis Sinabung Jaya, Sutra , Aronta, Borneo dan Murni yang menuju kota Berastagi dan Kabanjahe berada.

Tarif taksi bandara lumayan murah atau kalau anda seorang budget traveler yang mencari alternative yang lebih murah, maka dari bandara Polonia anda dapat berjalan kaki sekitar 300 – 400 meter ke jalan raya didepan bandara Polonia, anda dapat naik angkutan umum menuju stasiun bis Sinabung Jaya, Sutra , Aronta, Borneo dan Murni di daerah Padang Bulan.

Ongkos angkutan dalam kota di Medan sekitar Rp. 2 – 5 Ribu. Ongkos Bis dari Medan ke Berastagi sekitar Rp. 10 – 13 Ribu dengan jarak tempuh sekitar 90 km dan waktu tempuh sekitar 70 – 90 menit melewati hutan dan pegunungan. 

Selamat berlibur dan kami tunggu kedatangan anda di kota Berastagi. Kami warga Tanah Karo Simalem mengucapkan selamat datang dan Mejuah-juah kita kerina. Bujur.

Notes; Tulisan Sebelumnya ada di http://sukatendel.blogspot.com, alasan saya untuk menghidupkan kembali tulisan ini karena sangat penting bagi anda yang mau wisata ke Tanah Karo Simalem.

Youtube: https://youtube.com/@Lagu_Karo_366

16 April 2012

Pengaturan Penghuni Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu


   Susunan jabu-jabu dalam Rumah Adat Karo sesuai dengan setiap jabu mempunyai nama, kedudukan dan fungsi tersendiri Rumah Adat Karo terdiri dari delapan jabu (delapan keluarga).
Jabu artinya salah satu dari bagian Rumah Adat Karo sebagai tempat tinggal satu keluarga setiap anggota-anggota keluarganya yang menempati jabu-jabu itu masih mempunyai hubungan keluarga. Kehidupan di dalam Rumah Adat Karo diatur oleh kebiasaan atau adapt serta ketentuan-ketentuan lainnya yang diciptakan penghuninya.

   Khusus untuk menjaga keamanan harta benda di rumah itu, pada siang hari diadakan tugas jaga secara bergilir yang disebut “Kerin”. Karena pada siang hari semua keluarga yang tinggal di rumah itu bekerja di ladang. Dengan adanya Kerin tersebut, maka tanggung jawab sepenuhnya atas segala harta benda milik keluarga yang tinggal di rumah itu menjadi tanggung jawab si penjaga.

Suatu rumah adat, bukanlah milik perorangan, tapi milk bersama dari keluarga yang menempatinya. Dalam hubungan itulah setiap jabu dibuat namanya sekaligus kedudukan dan fungsinya dalam rumah adat tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan denah dan keterangan jabu Rumah Adat Karo.

PENGATURAN PENGHUNI RUMAH ADAT SUKU KARO

KETERANGAN :

  • JABU BENA KAYU : didiami oleh para keturunan simantek kuta (Golongan Pendiri Kampung).
  • JABU SEDAPUR BENA KAYU (PENINGGEL-NINGGEL) : Didiami oleh  Anak Beru Menteri dari simantek kuta /Jabu Bena Kayu.
  • JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU (BICARA GURU) : Didiami oleh Guru/Tokoh Spiritual atau Tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Bertugas untuk mengobati anggota rumah yang sakit.
  • JABU LEPAR UJUNG KAYU (MAN-MINUM) : Didiami oleh Kalimbubu Jabu Bena Kayu.
  • JABU UJUNG KAYU (ANAK BERU) : Didiami oleh Anak Kuta atau Anak Beru dari Jabu Bena Kayu, yang berfungsi sebagai juru bicara Jabu Bena Kayu.
  • JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG) :Didiami oleh sembuyak dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur kepada tamu Jabu Bena Kayu.
  • JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang. Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu, disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang Kalimbubu.
  •  JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA) : Didiami oleh sembuyak dari Jabu Bena Kayu, berfungsi untuk mendengarkan berita yang terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu. (Sumber ; Doc.Yuni Artika Dewi Ginting)



Cara-cara mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu dan Struktur Bangunannya.


PADE TUKANG RUMAH ADAT KARO
   Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Siwalih Jabu bersumber dari hutan. Pada zaman dahulu, untuk mendirikan Rumah Adat Siwalih Jabu ini dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan pembangunan satu rumah adat memakan waktu sampai satu tahun. Oleh karenanya mendirikan rumah tersebut dilakukan dengan tahap dan selalu dilakukan secara bergotong royong masyarakat.
   Model utama di dalam mendirikan Rumah Adat itu adalah gotong royong. Unsur penggerak adalah Rakut Adat dan sebagai pembantu ialah golongan masyarakat yang terdapat di suatu desa.

1. Padi-padiken Tapak Rumah

MASYARAKAT SUKU KARO
Beberapa keluarga yang bermaksud mendirikan Rumah Adat itu, mencari dan menentukan pertapakan rumah yang bakal dibangun. Apabila pertapakan itu sudah diperoleh dan dianggap baik letaknya, maka akan diadakan suatu acara yang dinamai “pad-padiken Tampak Rumah.” Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pertapakan tersebut serasi dan tidak menimbulkan bala yang menempatinya kelak. Biasanya acara Padi padiken Tapak Rumah diatur pengetua adat dan dukun untuk mendapatkan suatu firasat. Bila ternyata setelah upacara itu dilaksanakan hasilnya kurang baik maka dicari pertapakan lain.
Adapun cara dukun untuk mengetahui hal tersebut adalah dukun mengambil segenggam tanah pertapakan dan dilengkapi dengan belo cawir (sirih). Tanah bersama sirih itu diletakkan pada suatu tempat sebelum tidur dengan terlebih dahulu mengucapkan meminta firasat kepada roh yang berkuasa, melalui mimpinya. Besok
harinya, dukun memperhatikan mimpinya dan menanyakan mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah itu. Apabila dukun dalam mimpinya menerima firasat baik begitu juga mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah, maka areal itu dapat digunakan.

2. Ngempak
Setelah pertapakan didapat, maka keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu menetapkan hari “Salangsari” (baik) dengan perantaraan dukun, untuk dapat pergi ke suatu hutan guna mencari kayu untuk rumah tersebut. Pada suatu hari yang telah ditentukan mereka berangkat ke sebuah hutan bersama seorang gadis yang masih mempunyai ayah dan ibu, dengan tujuan mencari kayu untuk ditebang. Pada saat penebangan pertama, dukun memperhatikan bagaimana cara tumbang kayu tersebut. Bila pada penebangan pertama itu ternyata ada tanda-tanda yang kurang baik, maka diulang kembali sampai mendapat firasat yang baik. Penebangan kayu pertama ini disebut “Ngempek”

3. Ngerintak Kayu
Setelah perkayuan dari rumah itu sudah dikumpulkan secukupnya, hal ini bertujuan untuk mengundang penduduk desa agar bersedia memberikan bantuan tenaga dalam menarik kayu dari hutan.
   Demikianlah, kayu itu secara bertahap ditarik bersama oleh penduduk sampai semuanya selesai dan terkumpul pada tempat yang telah ditentukan. Setelah selesai pekerjaan Ngerintak kayu, biasanya diadakan suatu kenduri. Semua orang turut menarik kayu itu dan tukang yang akan mengerjakannya diundang dimana diadakan jamuan makan bersama. Biaya kenduri itu menjadi tanggungan keluarga-keluarga yang mendirikan rumah.

4. Pebelit-belitken
Sebelum pande (tukang) mulai bekerja pada suatu hari yang telah ditentukan diadakan suatu acara yang disebut “Pebelit-belitken”, yang mana pada acara ini dihadiri oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah beserta anak beru, senina, kalimbubu, Pengetua atau Bangsa Tanah serta Pande (tukang) rumah yang bakal
dibangun.
Acara ini bertujuan untuk mengikat suatu perjanjian antara pihak pendir rumah dengan pande disaksikan oleh pihak Senina dan kalimbubu dan dijamini oleh Anak Berunya masing-masing. Pada acara ini juga diadakan jamuan makan.

5. Mahat
SENI PAHAT KARO
Beberapa hari setelah acara Perbelit-belitken, Pande (tukang) telah dapat melakukan tugasnya. Kayu yang telah tersedia itu mulai diukur dan dikupas dengan “Beliung” (semacam kampak) sesuai dengan yang diperlukan, dan pekerjaan yang berikutnya dikerjakan pekerja mahat (memahat) perkayuan. Pada waktu mahat, masing-masing orang empunya memanggil kawannya lima orang dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula Pande (tukang) memberikan petunjuk yang dilanjutkan dengan “Pemahatan pertama” oleh dukun. Selanjutnya baru dapat dilanjutkan pekerjaan oleh orang-orang yang telah ditentukan.


6. Ngapaken Tekang

Setelah “Binangun” (tiang besar) selesai dikerjakan dan ditegakkan di atas (fondasi), begitu juga peralatan pekerjaan, perkayuan besar dibahagian bawah rumah itu selesai dipasang, maka sebahagian dari pekerjaan Pande (tukang) telah dapat dikatakan selesai. Oleh karenanya pekerjaan dapat dilanjutkan dengan “Ngampaken Tekang” yaitu mengangkat dan menaikan belahan balok panjang yang berfungsi sebagai tutup yang letaknya memanjang di dalam rumah itu. Pekerjaan ini juga harus disertai oleh tenaga gotong-royong oleh keluarga yang mendirikan rumah tersebut.
RUMAH ADAT KARO











7. Ngapeken Ayo
AYO AYO RUMAH ADAT KARO
Rumah Adat Karo mempunyai “Ayo”, yaitu bagian atas rumah yang berbentuk segi tiga. Ayo Rumah Adat itu terbuat dari bambu dengan anyaman bercorak khusus diberi ragam warna dengan motif hiasan bidang. Bayu-bayu (anyaman bambu) yang dipergunakan menjadi Ayo rumah itu, dijepit dengan semacam papan yang bagian bawahnya diberi ukiran. Setelah Ayo itu selesai dikerjakan, lalu dipasang menurut Pande (tukang) dengan dibantu beberapa orang.



8. Memasang Tanduk

KEPALA KERBO RUMAH ADAT KARO
Walaupun bagian-bagian dari rumah itu telah dikerjakan dan rumah itu dapat dipergunakan, tapi sebelum dipasang tanduknya berarti belum selesai. Oleh karena itu dipasang tanduk pada Rumah Adat Karo sudah menjadi keharusan dan tidak dapat diabaikan.
  Tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk kerbau yang letaknya dipasang di puncak atap. Pemasangannya harus pada malam hari sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Dasar dari tempat melekatkan tanduk itu dibuat dari tali ijuk dilipat dengan semacam perekat dan diberi warna dengan cat putih.
Kemudian selanjutnya pekerjaan adalah mengerjakan bahagian “Ture” (serambi) dan tangannya.
Demikianlah urutan acara-acara didalam pelaksanaan yang mendirikan Rumah Adat Karo, menurut kebiasaan yang berlaku pada suku Karo.
Rumah Adat Karo dilihat dari segi bangunan atau bentuknya ada dua macam. Satu dinamai “Rumah Adat Biasa” dan satu lagi “Rumah Anjung-ajung”. Rumah Adat Biasa mempunyai dua Ayo, sedangkan Rumah Adat Anjung-ajung mempunyai delapan Ayo. Bila ditinjau dari segi arsitektur bangunannya yang indah. Selain dari segi keindahannya, dikenal berfungsi sebagai pembinaan keluarga dan social Disamping itu Rumah Adat Karo mempunyai keistimewaan dalam hal pembuatannya. Rumah itu dapat berdiri dengan megahnya walaupun dengan peralatan yang sederhana dan tidak menggunakan paku untuk perekatnya.

SENI BANGUNAN RUMAH ADAT SUKU KARO




15 April 2012

OBJEK WISATA DELENG KUTU


   Anda mungkin pernah mendengar hewan kecil yang gatal bernama kutu. Nama binatang penghisap darah ini rupanya menjadi salah satu nama gunung di Tanah Karo, Sumatera Utara. Persisnya di Desa Guru Singa, Kecamatan Berastagi, Gunung Kutu tidak kalah uniknya dengan sejumlah gunung populer lainnya yang berada di Tanah Karo.
Padahal gunung ini tidak setinggi Sibayak dan Sinabung, namun panorama alam yang dimilikinya cukup mempesona. Deleng Kutu, demikian masyarakat lokal menyebut gunung yang memiliki ketinggian sekitar 1.300 mpdl ini. Dilihat dari kejauhan, deleng (gunung dalam bahasa Karo) itu memang mirip kutu. Mungkin itulah sebabnya masyarakat sekitar menyebutnya Gunung Kutu.

Dalam pendakian gunung yang memiliki tantangan tersendiri ini, aku bersama Esra Surbakti, Rian Ginting dan Jhon Ginting mengawali perjalanan dari sebuah desa di sekitar kaki gunung, Desa Lingga Julu. Perjalanan yang dimulai sejak sore hari itu dibayang-bayangi mendung dan kabut. Setelah beberapa puluh menit berjalan selepas Desa Lingga Julu, kami sudah menyaksikan permukaan Gunung Kutu. “Memang mirip kutu ya?” celetuk Rian sambil menunjuk ke sebuah gundukan hijau kebiruan yang masih terlihat kerdil di hadapan kami.
   Sejenak kami berhenti memandangi gunung imut itu. Sembari mengabadikan gunung, beberapa teman melototi kerumunan sapi yang sedang melahap rumput. Mungkin mereka jarang menemukan suasana seperti ini di kota, pikirku. Perjalanan dilanjutkan ke Desa Guru Singa. Di jantung kampung ini, terdapat sebuah rumah adat Karo yang kondisinya cukup memprihatinkan. Kami berupaya masuk ke rumah siwaluh jabu (delapan keluarga) itu melalui jendela yang hampir ambruk. Kondisi dalam rumah adat yang dulu dihuni delapan keluarga ini kayak kapal pecah. Di sana-sini terlihat onggokan pakaian dan barang bekas yang sudah kumuh. Menurut salah seorang warga, sejak sepuluh tahun silam rumah peninggalan nenek moyang orang Karo tersebut memang sudah kosong lantaran keluarga yang dulu menghuninya sudah pindah.
Sejak itu, tidak ada upaya Pemkab Karo mengkonservasi bangunan tradisional ini sebagai salah satu situs pariwisata yang tidak ternilai harganya. Pintu Rimba. Puas menyaksikan kehancuran siwaluh jabu, perjalanan dilanjutkan ke pintu rimba. Tapi gerimis sudah mendahului kami sebelum sampai di pintu masuk itu. Di sinilah kami ditantang memanjat betis gunung setinggi 2,5 meter. Berhasil melewati tantangan ini dengan bantuan akar pohon, kami menemukan jalur yang cukup menantang pula. Jalur pendakian ke Gunung Kutu memiliki medan yang lumayan sulit.

Betul kata sesepuh pendaki gunung, semua gunung itu unik dan memiliki medan yang tantangannya berbeda. “Jadi jangan pernah menganggap remeh sebuah petualangan,” itu pesan yang kuterima. Teman-temanku rupanya terkecoh dan masing-masing mulai memberikan penilaian baru terhadap misi pendakian ini. Sebelumnya ada kesan sepele dari mereka. “Tadi kita kira gampang, rupanya jalurnya bikin sesak napas juga ya?” kata seorang teman dengan napas memburu. Hampir mencapai puncak, kami tertipu lagi. Rupanya sebuah ketinggian yang kami temukan adalah “puncak palsu”. Meski gunung ini terlihat kecil, tapi kecil-kecil cabai rawit juga.
   Di puncak tipuan itu, kami hampir tersesat. Untunglah seorang teman buru-buru menemukan jalur yang mengarah ke kanan dan menuju puncak yang sesungguhnya. Lima menit menyusuri jalan tersebut, kami menemukan sebuah pilar yang konon didirikan oleh Belanda. Berada di puncak Gunung Kutu seperti berada di taman. Terasa asyik karena puncaknya dilengkapi tempat duduk yang terbuat dari batu. Pilar dikelilingi tempat duduk batu dan terdapat lokasi untuk mendirikan tenda. Selain itu kami menemukan sisa-sisa ranting terbakar yang berserakan. Mungkin baru saja ada orang yang membuat api unggun, pikirku. Setelah puas beristirahat di puncak, kami menembus padang ilalang setinggi 2 meter.

   Dari sana terdapat satu tempat yang cozy untuk nongkrong. Dari ketinggian itu, Kota Kabanjahe tampak berkilat-kilat di bawah. Juga terlihat permukaan Gunung Sibayak dan Sinabung, dua ikon Tanah Karo yang sudah melegenda hingga mancanegara. Sempat Terpelanting Di puncak, senja menggairahkan alam. Burung-burung tidak berhenti berkicau. Angin senja terasa lembut menyapu kulit. Kami betah berada di sini. Alam akrab menyapa dan menjadi saksi bisu sebuah persahabatan. Di gunung inilah kami abadikan persahabatan itu.
   Damai di sana, sedamai alam bila hutan dan ekosistemnya dilestarikan. Sangat disayangkan, sebagian tubuh gunung mulai ditanami penduduk. Hampir satu jam di puncak, kami kembali menuruni lereng Gunung Kutu. Karena jalannya licin, beberapa kali kami jatuh terpelanting. Tapi berkat bantuan akar-akar pohon yang tersebar di sepanjang jalur, pendakian berhasil diakhiri sekitar pukul 19.00 WIB tanpa ada yang cedera. Dari pintu rimba, rombongan kecil ini menyusuri jalan pedesaan ke Simpang Korpri selama hampir 1 jam. Simpang ini berada di Jalan Jamin Ginting yang menghubungkan Kota Kabanjahe-Berastagi. Dari sana kami menuju Kota Berastagi dan menikmati jajanan malam di kota pariwisata itu. Bagiku, ini sebuah perjalanan penuh kenangan. Tidak akan bisa kami lupakan. (insidesumara)

14 April 2012

Sejarah Tembut-Tembut Seberaya


SEJARAH TEMBUT - TEMBUT SEBERAYA DI TANAH KARO
   Tembut-Tembut yang terdapat di Desa Seberaya dibuat Oleh Pirei Sembiring Depari, diperkirakan sekitar tahun 1910-an. Pirei Sembiring Depari semasa hidupnya adalah seorang tukang ukir dan tukang pahat yang tersohor. Kepandaiannya yang utama adalah menempa atau membentuk pisau, parang dan belati. Masyarakat Karo pada masa itu mangakui pisau dan belati hasil buatan Pirei Sembiring Depari memiliki kualitas yang sangat baik. Pirei Sembiring Depari hidup dari pekerjaannya sebagai penempa pisau dan belati serta juga pengukir batu. Popularitas Pirei Sembiring Depari sampai juga pada pemerintahan Belanda yang pada masa itu mengusai Tanah Karo sebagai penjajah. 

Hal ini membuat pihak Belanda memesan belati buatan Pirei Sembiring Depari, dan pesanan-pesanan tersebut membuat kehidupan Pirei Sembiring Depari makin membaik dari segi ekonomi. Pirei Sembiring Depari memiliki satu sifat yang kurang baik yaitu gemar bermain judi. Dalam kegiatannya bermain judi, Pirei sering mengalami kekalahan. Pada suatu hari, sehabis dia kalah bermain judi dia pulang melewati areal perladangan, dimana di areal perladangan tersebut banyak dipajang Gundala-Gundala yang digunakan petani untuk menakut-nakuti hewan pengganggu tumbuhan mereka seperti burung dan moyet. Melihat gundala-gundala tersebut, muncul keinginan Pirei Sembiring Depari untuk memahat gundala-gundala yang sama.
   Meskipun telah memiliki niat untuk membuat gundala-gundala yang dilihatnya dalam perjalanan menuju pulang, namun Pirei Sembirng Depari belum dapat menemukan apa bahan atau kayu apa yang akan dipahat untuk membuat gundala-gundala tersebut. Hal ini membuat Pirei dalam melakukan perjalanan kemanapun dia pergi melakukan pengamatan terhadap pohon-pohon yang dijumpainya, memilih kayu apa yang cocok untuk rencananya membuat gundala-gundala. Dalam sebuah perjalannya menuju suatu tempat, Pirei Sembiring Depari melihat pohon gecih. Pohon kayu tersebut berbentuk lurus, bersih dan tak bercacat serta mudah dipahat. Hal ini membuat Pirei menjatuhkan pilihat pada kayu gecih untuk dijadikan kayu pembuat gundala-gundala. Pada suatu hari Pirei Sembiring 
Depari berniat menebang pohon tersebut, namun ketika hendak menebang pohon ini tiba-tiba petir datang menyambar dan hujan pun turun dengan lebatnya, hal ini membuat usaha Pirei untuk mebang pohon tersebut gagal. Berkali-kali Pirei Sembiring Depari mencoba menebang kembali pohon tersebut, namun selalu gagal dengan adanya sambaran petir dan turunnya hujan. Keadaan seperti ini tidak membuat Pirei menyerah untuk mendapatkan pohon tersebut, akhirnya Pirei meminta petunjuk dari para orang tua bagaimana cara agar penebangannya berhasil.
   Dari arahan para orang tua yang ditanya oleh Pirei Sembiring Depari, maka Pirei haruslah memberikan sesajen pada kekuatan gaib yang menunggui hutan. Sesajen tersebut dalam bentuk makanan seperti seekor ayam yang sudah dimasak, pisang, nasi dan buah-buahan ditambah beberapa lembar daun sirih yang dilengkapi dengan kapur sirih dan gambir. Sesajen tersebut sebagai tanda minta permisi untuk menebang salah satu pohon yang ada di dalam hutan tersebut. Setelah melakukan ritual pemberian sesajen pada kekuatan gaib pemilik hutan, akhirnya Pirei dapat melakukan penebangan terhadap kayu gecih ini. Pada saat penebangan kayu ini, petir memang tidak datang lagi menyambar, namun hujan masih tetap turun, namun ini tidak begitu mengganggu penebangan yang dilakukan Pirei. Dari kayu gecih tersebut Pirei Sembiring Depari membentuk dan mengukir seperangkat gundala-gundala

TEMBUT - TEMBUT SEBERAYA DI TANAH KARO
Tembut- tembut Seberaya (gundla-gundala)
   Gundala-gundala tersebut terdiri dari empat topeng dan satu kepala burung. Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari dalam membuat patung atau topeng tersebut berusaha semirip mungkin dengan imajinasinya. Namun, topeng yang dihasilkan oleh Pirei Sembiring Depari, menurut orang-orang pada saat itu lebih seram dan menakutkan dari gundala-gundala biasanya. Hal ini membuat gundala-gundala buatan Pirei Sembiring Depari disebut Tembut-Tembut. Pada awalnya, Pirei Sembiring Depari meminta beberapa anak muda yang termasuk dalam kekerabatan anak beru-nya untuk memainkannya di halaman rumahnya. Sebagaimana tradisi yang terdapat pada masyarakat Karo, seseorang yang lazim untuk disuruh dalam melakukan suatu pekerjaan adalah kerabat yang masuk dalam kelompok anak beru (kelompok pengambil anak dara), sedangkan dari pihak kalimbubu (pemberi anak dara) pantang untuk disuruh-suruh. Permainan tembut-tembut dari Pirei Sembiring menarik perhatian banyak warga desa, sehingga setiap keluarga Pirei memainkan tembut-tembut ini selalu saja banyak warga yang menonton. Selain karena pada masa itu hiburan masih sangat minim, hal ini juga dikarenakan permainan ini dianggap unik dan menghibur.

   Namun setiap tembut-tembut tersebut dimainkan maka selalu saja turun hujan, sehingga masyarakat dan Pirei sendiri pun marasakan keganjilan. Sampai pada suatu saat Pirei Sembiring Depari mendapatkan suatu “bisikan” gaib dalam tidurnya. Bisikan tersebut mengatakan kalau dia harus menjaga dan merawat tembut-tembut tersebut sampai pada anak cucunya nanti. Pirei juga diwajibkan untuk memandikan dan memberi sesajen pada waktu-waktu tertentu pada tembut-tembut tersebut, tembut-tembut ini juga hanya dapat dimainkan oleh anak beru dari pihak Pirei Sembiring Depari. Berdasarkan hal tersebut diataslah sehingga sampai saat ini tembut-tembut yang dibuat oleh Pirei Sembiring Depari tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunnya. Dari Pirei Sembiring Depari sampai sekarang, sudah empat generasi yang menjadi ahli warisnya. Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat dari urutannya sebagai berikut :
  1. Pirei Sembiring Depari = Pembuat tembut-tembut pertama
  2. Ngasal Sembiring Depari
  3. Firman Sembiring Depari
  4. Dwikora Sembiring Depari = Ahli waris tembut-tembut sekarang
Sumber : repository.usu.ac.id & tembuttembutseberaya.com


Terkait :

Sejarah Desa Seberaya

Desa Seberaya Tahun 1870 (Tropenmuseum)
   Dalam sejarah terbentuknya Desa Seberaya dan penamaan Desa Seberaya, masyarakat Desa Seberaya memiliki cerita sendiri dan cerita Sejarah ini diakui dari generasi ke generasi penduduk Desa Seberaya. Kata Seberaya ini sebenarnya berasal dari kata Serayan, dalam bahasa Karo serayan artinya kelompok atau kelompok kerja. Kata serayan ini juga dapat disamakan dengan kata aron dalam bahasa Karo yang berarti kelompok kerja, biasanya untuk mengerjakan ladang anggota kelompoknya.

   Kata serayan dipilih karena pada awalnya ada sekelompok orang dengan marga Karo Sekali yang mendiami daerah ini. Kelompok orang ini membuka lahan untuk dijadikan tempat tinggal. Kelompok orang ini adalah 3 keluarga yang masih memiliki hubungan darah (satu keluarga) dengan marga Karo Sekali. Karena merasa cocok dengan daerah tersebut, akhirnya ketiga keluarga ini memutuskan untuk menetap dan mendirikan rumah-rumah bagi keluarga dan keturunan masing-masing mereka. Daerah yang semula tidak ada namanya ini kemudian diberi nama Serayan karena mereka yang mula-mula mendiami daerah ini adalah sekelompok orang. Seiring dengan berjalannya waktu, kata serayan berubah menjadi kata Seberaya, tidak ada yang mengetahui jelas kapan dan siapa yang mengubah nama serayan menjadi Seberaya. Dalam budaya Karo, ada istilah Merga simentek kuta, yaitu marga orang yang awalnya mendiami daerah tersebut atau orang yang mendirikan kampung atau desa tersebut dan istilah anak beru kuta. Desa Seberaya marga Simantek kuta adalah marga Karo Sekali, karena kelompok orang dengan Marga Karo Sekali lah yang awalnya mendiami dan mendirikan desa ini. Sementara anak beru kuta adalah Merga Sembiring. 

Ternak di Desa Sibraija Tahun 1870 (Tropenmuseum)
   Di seberaya sendiri, ada tiga kesain besar, kesain dalam bahasa Indonesia berarti kelompok pemukiman yang berada dalam sebuah wilayah desa. Kesain tersebut adalah Kesain Rumah Karo Raja Urung, Kesain Saribu dan Kesain Julun. Nama-nama kesain ini diyakini adalah nama ketiga kepala keluarga yang awalanya mendiami daerah Seberaya ini. Dari ketiga nama ini, Karo Raja Urung adalah yang tertua, disusul oleh kedua saudaranya yaitu Saribu dan Julun.
Sampai saat ini, penduduk dengan marga Karo Sekali dan Sembiring lah yang paling banyak terdapat di Desa Seberaya. Marga Karo Sekali juga diyakini berasal dan berkembang dari Desa Seberaya, sehingga jika dimanapun ada orang Karo dengan marga Karo Sekali kemungkinan besar adalah berasal dari Desa Seberaya.(Sumber : repository.usu.ac.id doc.Romi Oktolius Ginting)


Terkait :