12 April 2012

MARGA SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO

Oleh Pertampilan Sembiring Brahmana
Pendahuluan
Masyarakat Karo adalah salah satu etnis yang ada di Sumatera Utara. Etnis ini masuk ke dalam etnis Batak. Secara administrasi negara, Karo sebagai wilayah adalah sebuah Kabupaten dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 atau 3,01 % dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara.

   Akan tetapi bila membicarakan wilayah budaya masyarakat Karo secara tradisional, masyarakat Karo  tidak hanya mencakup Kabupaten Dati II Karo sekarang ini saja, tetapi mencakup kewedanaan Karo Jahe yang mencakup daerah tingkat II Deli Serdang, terdiri dari Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan Biru-Biru, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Lau Bakeri dan Kecamatan Namorambe (Tambun, 1952:177-179), Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan STM Hulu, Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan Tanjong Morawa, Kecamatan Deli Tua, Kecamatan Patumbak, Kecamatan Sunggal (Brahmana, 1995:11). Di daerah tingkat II Langkat mencakup Kecamatan Sei Binge, Kecamatan Salapian dan Kecamatan Bahorok, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai dan Kecamatan Padang Tualang. Di daerah tingkat II Dairi, di Kecamatan Tanah Pinem, Kutabuluh, di daerah tingkat II Simalungun di sekitar perbatasan Karo dengan Simalungun, dan di daerah Aceh Tenggara (Prop NAD). Di daerah-daerah ini banyak ditemukan masyarakat Karo.

Masyarakat Karo dan Hindu
Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.

   Menurut Sangti (1976:130) dan Sinar (1991:1617), sebelum klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-Angin menjadi bagian dari masyarakat Karo sekarang,  telah ada penduduk asli Karo pertama yakni klen Karo Sekali. Kedatangan kelompok klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-Angin, akhirnya membuat klen pada masyarakat Karo semakin bertambah. Klen Ginting misalnya adalah petualangan yang datang ke Tanah Karo melalui pegunungan Layo Lingga, Tongging dan akhirnya sampai di Dataran Tinggi Karo. Klen Tarigan adalah petualangan yang datang dari Simalungun dan Dairi. Perangin-angin adalah petualangan yang datang dari Tanah Pinem Dairi. Sembiring diidentifikasikan berasal dari orang-orang Hindu Tamil yang terdesak oleh pedagang Arab di Pantai Barus menuju Dataran Tinggi Karo, karena mereka sama-sama menuju dataran tinggi Karo, kondisi ini akhirnya, menurut Sangti mendorong terjadi pembentukan merga si lima (Marga yang lima). Pembentukan ini bukan berdasarkan asal keturunan menurut garis bapak (secara genealogis patrilineal) seperti di Batak Toba, tetapi sesuai dengan proses peralihan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Karo Tua kepada masyarakat Karo Baru  yakni lebih kurang pada tahun 1780. 
   Pembentukan ini berkaitan dengan keamanan, sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi pergolakan antara orang-orang yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli. Kini hasil pembentukan klen ini akhirnya melahirkan merga si lima (klen yang lima) yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Karo saat ini. Akhirnya masyarakat Karo yang terdiri  dari merga si lima yang berdomisili di Dataran Tinggi,  kemudian menyebar ke berbagai wilayah di sekitarnya, seperti ke Deli Serdang, Dairi Langkat, Simalungun dan Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahkan secara individu kini mulai menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, maupun ke luar wilayah negara Indonesia.
Tidak dapat disangkal, walaupun kebudayaan Hindu telah mengalami masa surut pada daerah di Indonesia akibat didesak oleh Islam dan Kristen, namun sisa-sisa keberadaannya yang bersifat monumental masih banyak ditemukan. Di Sumatera, di Jawa maupun di daerah lainnya, dalam bentuk fisik, masih kokoh berdiri bangunan Candi, sedangkan dalam bentuk non-fisik, seperti agama Hindu, bahasa maupun tatacara kehidupan masyarakat masih dapat ditemui pada kelompok-kelompok masyarakat Indonesia tertentu. Khusus pada masyarakat Karo, peninggalan Hindu yang paling monumental adalah marga yaitu marga Sembiring.

Marga Sembiring dan Keturunan Masyarakat Hindu
   Dari sekian banyak peninggalan Hindu yang terdapat pada masyarakat Karo, barangkali yang keabadiannnya kelak melebihi usia bangunan Candi adalah marga yaitu marga Sembiring. Sejak kapan resmi Sembiring menjadi bagian dari marga masyarakat Karo, tidak diketahui pasti. Tetapi diperkirakan Sembiring ini adalah marga yang termuda dari  lima cabang marga yang ada pada masyarakat Karo. Sembiring berasal dari kata Si + e + mbiring. Mbiring artinya hitam. Si e mbiring artinya yang ini hitam. Melihat makna kata Si e mbiring, kiranya cukup jelas bahwa yang dimaksud adalah segerombolan manusia yang berkulit hitam. Bagi penduduk Asia Tenggara, orang-orang yang berkulit hitam ini adalah orang Tamil atau Keling yang berasal dari Asia Selatan (India). Penyebaran atau kedatangan orang-orang Tamil ini diperkirakan tidak bersamaan waktunya. Penyebarannya secara bergelombang. Kedatangan mereka ke dataran tinggi Karo, tidak secara langsung. Boleh jadi  setelah beberapa tahun atau puluhan tahun menetap di sekitar pantai Pulau Sumatera. Mereka ini masuk ke dataran tinggi Karo, boleh jadi terutama disebabkan terdesak oleh pedagang-pedagang Arab dengan Agama Islamnya.

Brahma Putro menyebutkan kedatangan orang Hindu ini ke pegunungan (Tanah Karo) di sekitar tahun l33l-l365 masehi. Mereka sampai di Karo disebabkan mengungsi karena kerajaan Haru Wampu tempat mereka berdiam selama ini diserang oleh Laskar Madjapahit. akan tetapi ada pula yang memberikan hipotesa, penyebaran orang-orang Tamil ini akibat terdesak oleh pedagang-pedagang Arab (Islam) yang masuk dari Barus. Orang-orang Tamil (+ pembauran) yang kalah bersaing ini lalu menyingkir ke pedalaman pulau Sumatera, salah satu daerah yang mereka datangi adalah Tanah Karo. Menurut cerita-cerita dari tetua, kedatangan mereka di Tanah Karo diterima dengan baik. Mereka disapa dengan si mbiring. Akhirnya pengucapan si mbiring  berubah menjadi Sembiring dan kemudian menjadi marga yang kedudukannya sama dengan marga yang lain.

Adapun pembagian marga Sembiring, setelah resmi menjadi bagian dari masyarakat Karo adalah sebagai berikut :

MARGA SEMBIRING
N0SUB MARGAASAL MULA
1
Berahmana
Kabanjahe, Perbesi, Dan Limang
2
Busuk
Kidupen, L.Perimbon,Serberaya, Perbesi, dan Bekancan
3
Depari
Seberaya, Perbesi, Dan Munte,Naman
4
Colia
Kubucolia Dan Seberaya
5
Keloko
Pergendangen
6
Kembaren
Samperaya Dan Hampir Di Seluruh Urung Liang Melas
7
Muham
Susuk Dan Perbesi
8
Meliala
Sarinembah, Munte ,Rajaberneh, Kidupen, Kabanjahe, Naman, Berastepu, Dan Biaknampe
9
Maha
Martelu, Pandan, Pasirtengah
10
Bunuaji
Sukatepu, Kutatonggal, Dan Beganding
11
Gurukinayan
Gurukinayan
12
Pandia
Seberaya, Payung, Dan Beganding
13
Keling
Juhar Dan Rajatengah
14
Pelawi
Ajijahe, Perbaji, Kandibata, Dan Hamparan Perak (Deli)
15
Pandebayang
Buluh Naman Dan Gurusinga
16
Sinukapur
Pertumbuken
17
Sinulaki
Silalahi,Suka, Belinun
18
Sinupayung
Juma Raja Dan Negeri
19
Tekang
Kaban


Catatan: Desa asal ini dapat berarti desa yang dibangun atau didirikan oleh subklen marga tersebut, atau desa awal yang mereka tempati sejak menjadi bagian dari masyarakat Karo atau desa asal mereka dari daerah luar budaya Karo. Beberapa desa asal ini seperti Silalahi, Paropo, tidak terletak dalam wilayah Kabupaten Karo, tetapi terletak dalam wilayah Batak yang lain.

   Klen Sembiring pada masyarakat tersebut di atas berasal dari dua sumber, sumber pertama yang berasal dari Hindu Tamil dan yang kedua berasal dari Kerajaan Pagarruyung. Sembiring yang berasal dari Hindu Tamil disebut Sembiring Singombak. Dijuluki Sembiring Singombak karena dahulu, apabila ada keluarga mereka yang meninggal dunia, mereka tidak mengubur jenasahnya tetapi memperabukannya (dibakar) dan abunya ditaburkan di Lau Biang (Sungai Wampu). Mereka ini berpantang memakan daging anjing. Sembiring Singombak ini terdiri dari 15 sub marga yaitu Brahmana, Pandia, Colia, Gurukinayan, Keling, Depari, Pelawi, Bunu Aji, Busok, Muham, Meliala, Pande Bayang, Maha, Tekang dan Kapur.

    Kelompok Sembiring Brahmana, Pandia, Colia, Gurukinayan dan Keling menganggap mereka seketurunan, sehingga mereka tidak boleh mengadakan perkawinan antar sesama mereka. Demikian pula dengan Depari, Pelawi, Bunu Aji dan Busok, mereka ini juga menganggap seketurunan  dan pantang mengadakan perkawinan antar sesama mereka. Namun kesembilan sub marga Sembiring yang terbagi ke dalam dua kelompok ini, boleh mengadakan perkawinan sesama mereka di luar dari kelompoknya.
Sedangkan Sembiring yang berasal dari Kerajaan Pagarruyung terdiri dari lima sub marga yaitu Sembiring Kembaren, Keloko, Sinulaki, Sinupayung dan Bangko. Kelompok Sembiring ini juga memperabukan jenasah keluarga mereka yang meninggal dunia, tetapi abu jenasahnya mereka kubur. Bukan dibuang seperti yang dilakukan kelompok Sembiring Singombak. Mereka ini tidak berpantang memakan daging anjing.
Sama seperti kelompok Sembiring Singombak,  kelompok Sembiring yang berasal dari Kerajaan Pagarruyung ini  juga dilarang mengadakan perkawinan sesama mereka. Khusus untuk Sembiring Bangko. Kelompok ini sekarang berdomisili di Alas, Aceh Tenggara dan sudah menjadi bagian dari masyarakat Alas, seperti halnya para keturunan Raja Hindu Pagarruyung yang menetap di Sumatera Barat sudah pula menjadi bagian dari masyarakat Minangkabau. Saat ini pada umumnya kelompok marga Sembiring ini sudah memeluk agama Kristen atau Islam dan tidak lagi memperabukan jenasahnya seperti dahulu.
Adapun penyebab lahirnya sub-sub marga ini beberapa diantaranya, diduga berasal dari nama daerah asal mereka di India. Misalnya Sembiring Pandia diduga berasal dari daerah  Pandya, Colia dari daerah Chola, Tekang dari daerah Teykaman, Muham dari daerah Muoham, Meliala dari daerah Malaylam, Brahmana dari kelompok Pendeta Hindu.

Dalam hal ini, kelompok marga Sembiring dalam masyarakat Karo, tidak memitoskan asal usulnya seperti etnis atau kelompok marga lain.  Misalnya Batak Toba, yang mengusut asal-usul leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit (Toba), atau   yang mengusul asal usulnya dan berkesimpulan dari lapisan yang paling indah yang mereka sebut Tetoholi Ana’a  yang turun di wilayah Gomo (Nias), atau yang mengkaitkannya dengan  turunan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang Palembang (Melayu). Dalam masyarakat Karo mitos tersebut berkaitan dengan  totem (totem yaitu  kepercayaan adanya hubungan khusus antara  sekelompok orang dengan  binatang atau tanaman atau benda mati tertentu). Misalnya  haram  mengkonsumsi daging binatang seperti Kerbau Putih, oleh subklen  Sebayang,  Burung Balam oleh subklen klen Tarigan,  Anjing oleh subklen Sembiring Brahmana.
Penutup
Dari uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa orang-orang yang bermarga Sembiring pada masyarakat Karo pada mulanya bukanlah orang “Karo Asli”. Mereka adalah penduduk pendatang yang kemudian berbaur dengan penduduk setempat, yang akhirnya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Karo.     Gejala-gejala seperti ini dapat disamakan dengan  keadaan penduduk di pedesaan daerah Karo saat ini. Di pedesaan Karo sekarang ini banyak penduduknya “bukan” lagi orang Karo tetapi sudah diisi dengan penduduk pendatang seperti dari Suku Jawa, mereka akhirnya fasih berbahasa Karo dan diberi marga dan justru lebih Karo dari individu  Karo sendiri. Artinya banyak dari mereka lebih memahami adat istiadat masyarakat Karo daripada individu Karo tersebut.

Ciri-ciri utama yang kini masih dapat dikenali dari keturunan Hindu ini adalah marganya. Marganya mengingatkan kepada asal-usulnya, tetapi bila dilihat dari fisik atau warna kulit sudah semakin sulit. Banyak yang bermarga Sembiring tidak lagi berkulit Hitam seperti asal-usulnya, malah banyak yang berkulit kuning langsat mirip bangsa lain seperti Cina. Dalam pengertian sempit Sembiring hanyalah yang terdapat dalam masyarakat Karo, tetapi dalam pengertian luas (lebih luas) bukan hanya yang terdapat pada masyarakat Karo saja, tetapi semua keturunan yang berasal dari Asia Selatan yang sekarang  sudah membaur dengan penduduk setempat, yang ada di wilayah Indonesia. apakah itu di Aceh yang sudah menjadi bagian dari masyarkat Aceh, di Sumatera di luar masyarakat Karo yang sudah menjadi bagian dari masyarakat setempat. Di Sumatera Barat seperti keturunan Raja Hindu Pagarruyung yang lain yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Minang, Jambi, Riau.

Manfaat Pengungkapan Histografi Tradisional
   Apa manfaat pengungkapan histografi tradisional seperti ini? Manfaat pengungkapan histografi tradisional seperti ini adalah untuk menunjukkan bahwa boleh jadi, apa yang kita klaim sebagai kemurnian etnis misalnya etnis X, etnis Y,  bukanlah berasal dari klaim etnis yang murni. Mereka yang mengidentifikasi kelompoknya sebagai etnis X, etnis Y kini,  dahulu kala sebenarnya boleh jadi berasal dari dukungan individu-individu  etnis lain yang berasimiliasi, membaur yang akhirnya menjadi bagian etnis X, etnis Y tersebut pada hari ini,   antara lain seperti yang terjadi pada masyarakat  Karo.

Di luar masyarakat Karo,  kasus yang sama dan hampir sama misalnya di Aceh. Dari data sejarah etnis Aceh ada pandangan yang mengatakan Aceh itu adalah akronim dari A (Arab), C (Campa), E (Eropah – Portugis) dan H (Hindi – Hindu). Pandangan ini berasal dari kemiripan bentuk fisik orang Aceh saat ini dengan bangsa-bangsa yang disebut di atas. Misalnya masyarakat Aceh yang tinggal di Kabupaten Aceh Besar, banyak yang bergelar Sayid atau Syarifah, fisik mereka menyerupai orang Arab. Masyarakat Lamno di Aceh Barat menyerupai orang Portugis, masyarakat Aceh di Sigli (Pidie) dan Lhokseumawe (Aceh Utara) banyak yang mirip India (Tamil). Di Sumatera Barat, keturunan Raja Hindu  Pagarruyung. Sedangkan di luar Pulau Sumatera, misalnya masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi ada yang berasal dari keturunan bangsa Eropah (Portugis atau Belanda). Kini para pembauran tersebut sudah menjadi bagian dari masyarakat etnis tersebut.
Kesadaran, pemahaman seperti ini sangat penting, agar kita sebagai individu atau sebagai kelompok tidak mudah terjebak dalam klaim kemurnian etnis, padahal dalam klaim itu ada spirit  provokasi  yang dilakukan oleh kalangan tertentu  untuk kepentingannya apakah itu atas nama etnis untuk kepentingan diri si elit, untuk kelompok si elit  atau mungkin aspirasi politik  si elit di era otonomi daerah ini khususnya dalam kepentingan pilkada atau kepentingan lainnya yang bersifat merusak spirit multikulturalisme atau pluralisme bangsa yang sudah terbangun sejak dahulu kala, sebelum Indonesia menjadi satu negara.

Kepustakaan
Anonim. 1976. Monografi Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Depdikbud.
Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: PT. Inti Idayu Pers.
Brahmana, L.S.  1995. Menelusuri Wilayah Bahasa Karo. Medan: Tenah.
Brahmana, Rakutta S. 1985.  Corat-Coret Budaya Karo. Medan: Ulamin Kisat.
Hutauruk, M. 1987. Sejarah Ringkas Tapanuli: Suku Batak. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Neumann, J.H. 1972. Sebuah Sumbangan: Sejarah Batak Karo. Jakarta: Bharata.
Prinst, Darwan-Darwin. 1986. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Bandung: Yirama.
Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman I. Medan: Yayasan Massa.
Sebayang, R.K. 1986. Sejarah Sebayang Mergana. Medan.
Tambun, P. 1952. Adat Istidat Karo. Djakarta: Balai Pustaka.
Tarigan, Sarjani (ed). 1986. Bunga Rampai Seminar Kebudayaan Karo Dan Kehidupan Masa Kini. Medan.
Yusuf, M. Djalil. 2002. Perekat Hati Yang Tercabik. Banda Aceh-Yogya: Penerbit Yayasan Ulul Arham (YUA)  dan Pustaka Pelajar.
Penulis adalah Magister Kajian Budaya dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial, dari Universitas Udayana Denpasar Tahun 1998 (kawarmedan@yahoo.com)
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Jurnal Dinamika Kebudayaan, Vol VII, No. 2, 2005  yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Unversitas Udayana, Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar