Dalam mencari nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan manusia yang bersumber dari adat istiadat masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia banyak mempunyai pilihan. Banyaknya pilihan ini dikarenakan bangsa Indonesia mempunyai banyak suku bangsa, dan tiap suku bangsa memiliki adatnya masing-masing. Di dalam adat ini banyak terkandung variabel-variabel pendukung adat yang juga masing-masing mempunyai nilai. Nilai-nilai ini mendukung kelanggengan adat istiadat.
Salah satu variabel pendukung dan penggerak adat istiadat dalam masyarakat Karo adalah daliken si telu. Nilai-nilai yang dominan yang terdapat di dalam daliken si telu ini adalah nilai gotong royong dan kekerabatan. Secara etimologis daliken si telu berarti "tungku yang tiga". daliken = batu tungku, si = yang, telu = tiga. Realita ini menunjuk kepada fungsi batu tungku sebagai tempat untuk menyalakan api (memasak). Namun ada pula yang mengartikannya rakut si telu (ikatan yang tiga).
Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Konsep ini tidak hanya dimiliki oleh Batak Karo saja, tetapi juga dimiliki oleh Batak yang lain dengan nama yang berbeda. Dalam Batak Toba dan Mandailing dikenal istilah dalihan na tolu, dalam masyarakat NTT dikenal lika telo (Wirateja, 1985).Unsur daliken si telu atau rakut si telu atau sangkep nggeluh adalah kalimbubu (Karo) hula-hula (Toba) mora (Mandailing dan Angkola) todong(Simalungun), sembuyak/senina (Karo) dongan sabutuha (Toba) kahanggi (Mandailing\dan Angkola) Sanina (Simalungun), dan anakberu (Karo) boru (Toba, Mandailing dan Angkola) anak boru (Simalungun).Daliken si telu ini merupakan alat pemersatu masyarakat Karo, sekaligus dapat mengikat atau terikat kepada hubungan perkerabatan yang sekaligus pula sebagai dasar gotong royong, dan saling hormat menghormati, maka di dalam segenap aspek kehidupan masyarakat Batak Karo, daliken si telu ini sangat berperan penting, dia merupakan dasar bagi sistem kekerabatan dan menjadi landasan untuk semua kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat dan juga interaksi dengan sesama masyarakat Karo.
Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada daliken si telu. Melalui daliken si telu semua masyarakat Karo saling berkerabat, kalau tidak berkerabat karena hubungan darah, berkerabat karena hubungan klen. Jadi daliken si telu adalah landasan sistem kekerabatan dan menjadi landasan bagi semua kegiatan, khususnya kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat Karo. Daliken si telu ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anakberu).Atau dengan bahasa lain, daliken si telu adalah suatu jaringan kerja sosial-budaya yang bersifat gotong royong dan kebersamaan yang terdapat pada masyarakat Karo.
Daliken Si Telu Sebagai Sistem Kekerabatan
Aspek sistem kekerabatan dalam daliken si telu dapat dilihat berdasarkan unsur pendukung daliken si telu itu yaitu kalimbubu, senina/sembuyak dan anakberu. Sebagai sistem kekerabatan, sifatnya terbuka. Kedudukan seseorang, sebagai anakberu, atau kalimbubu, atau senina sembuyak, bergantung kepada situasi dan kondisi.
Sistem kekerabatan seperti bersifat sangat demokratis. Berdasarkan fungsinya, kalimbubu dalam struktur daliken si telu adalah sebagai pemegang keadilan dan kehormatan, ini diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat undang-undang, atau sebagai dewan pertimbangan agung, yang siap memberikan saran kalau diminta. Saran yang diberikannya, walaupun dia dekat dengan salah seorang dari yang meminta saran, sarannya tetap bersifat obyektif konstruktif. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan).
Senina/sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan pemerintahan. Mereka bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar, dan bila perlu mengadopsi anak yatim piatu dari saudara yang sesubklen. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Sesubklen sama dengan saudara kandung. Sedangkan anakberu diumpamakan sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, anakberu menjadi juru pendamai
bagi perselisihan yang ada.
Doc. DRS. PERTAMPILAN S. BRAHMANA, M.SI
Sumber: repository.usu.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar